Siap Pak .xyz (Jakarta) - Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2023 telah menjadi sorotan publik di Indonesia. Salah satu calon hakim yang mendapatkan perhatian khusus adalah Reny Halida Ilham Malik, yang menjadi sasaran pertanyaan tajam dari Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP, Ichsan Soelistyo.
Ichsan Soelistyo memulai sesi tanya jawab dengan mengungkit fakta bahwa Reny pernah gagal tiga kali dalam seleksi calon hakim Agung sebelumnya, pada tahun 2017, 2019, dan 2020. Ia juga menyoroti kenyataan bahwa Reny terdaftar sebagai calon sementara (DCS) calon anggota DPD RI.
Namun, yang paling mencolok adalah catatan rekam jejak Reny saat menjabat sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tinggi Jakarta dari tahun 2016 hingga 2020. Selama masa jabatannya, Reny tercatat memberikan keringanan vonis kepada 11 terdakwa dalam kasus korupsi, termasuk jaksa Pinangki, yang vonisnya turun dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara.
Ichsan Soelistyo mengecam tindakan ini dan mempertanyakan integritas dan jaminan kinerja Reny jika terpilih sebagai calon hakim MK. Ia mengingatkan bahwa putusan MK memiliki dampak luas pada masyarakat, dan karenanya, integritas dan keadilan dalam keputusan hakim MK adalah hal yang sangat penting.
"Bagaimana Ibu memberikan jaminan kepada kami bahwa Ibu akan mengambil keputusan yang adil berdasarkan kebenaran. Karena kalau keputusan MK ini efeknya, pengikutnya, banyak Bu," tegas Ichsan.
Pertanyaan lain yang diajukan oleh Anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP, Novri Ompusunggu, adalah mengapa Reny mengikuti seleksi calon hakim MK sambil mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD RI. Apakah ini semata-mata ambisi atau karena Reny percaya bahwa sistem hukum di Indonesia masih belum memadai?
Reny menjawab pertanyaan ini dengan menyatakan bahwa sebagai warga negara Indonesia, ia selalu siap untuk mengabdi sesuai dengan visi dan misinya, yang merupakan pengabdiannya kepada bangsa dan negara Indonesia. Ia juga menekankan bahwa undang-undang tidak melarangnya untuk mengikuti seleksi tersebut.
Namun, yang paling penting adalah jawaban Reny terkait dengan sorotan atas pengurangan hukuman terhadap terdakwa kasus korupsi, khususnya jaksa Pinangki. Reny mengklaim bahwa pengalaman dan putusan kasus korupsi yang mencatat pengurangan hukuman merupakan sebagian kecil dari banyak putusan yang telah ia buat.
Ia menegaskan bahwa putusan tersebut selalu diambil bersama dengan majelis hakim lainnya dengan mempertimbangkan aspek kepastian hukum dan keadilan. Reny berpendapat bahwa terdakwa juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara dan bahwa keputusan hakim harus mempertimbangkan berbagai aspek yang mencakup keadilan bagi masyarakat dan terdakwa.
Meskipun Reny mencoba memberikan penjelasan atas rekam jejaknya, tetap saja pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh anggota Komisi III DPR menimbulkan ketidakpastian dan keraguan di antara publik. Kemampuan Reny untuk memutuskan kasus korupsi dengan keringanan hukuman yang signifikan menjadi perhatian utama, mengingat korupsi merupakan masalah serius di Indonesia yang telah merugikan negara dan masyarakat.
Sementara itu, beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa pengalaman Reny dalam menjatuhkan hukuman lebih ringan dalam kasus korupsi adalah indikasi dari pemahaman yang mendalam tentang aspek-aspek hukum yang lebih luas, seperti rehabilitasi sosial dan reformasi hukum. Namun, perdebatan tentang apakah ini benar-benar mencerminkan kebijakan yang baik atau justru menunjukkan ketidakberpihakan terhadap upaya pemberantasan korupsi tetap menjadi perdebatan yang hangat di masyarakat.
Terkait dengan posisi ganda Reny sebagai calon hakim MK dan calon anggota DPD RI, ini juga menimbulkan pertanyaan tentang prioritasnya dan apakah ia akan mampu sepenuhnya memenuhi tugasnya sebagai hakim MK jika terpilih. Ada kekhawatiran bahwa kepemilihan ganda ini dapat mempengaruhi independensi dan fokusnya dalam mengambil keputusan yang adil sebagai hakim MK.
Pertanyaan-pertanyaan ini mengingatkan kita akan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam sistem peradilan, terutama ketika melibatkan penanganan kasus korupsi yang sensitif. Masyarakat berharap bahwa pemilihan hakim MK yang benar-benar dapat dipercaya dan adil akan menjadi langkah positif dalam memperkuat sistem hukum dan memberantas korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, calon hakim MK harus menjelaskan dan membuktikan bahwa mereka memiliki kapabilitas dan komitmen untuk menjalankan tugas mereka dengan sebaik-baiknya demi kepentingan negara dan masyarakat. (Sumber : Voi, Editor : KBO Babel)